inilah HIDUP

mengubah KRONOS menjadi KAIROS.
mengubah peristiwa begitu saja menjadi peristiwa bermakna, peristiwa berahmat.
mengubah CROWD menjadi COMMUNITY.
Mengubah yang tidak berhati nurani, menjadi kumpulan orang yang punya hati.
Inilah HIDUP yang bermakna.

cerpen

Kloset

 
Kata orang, kloset adalah tempat yang paling menjijikkan, tempat pembuangan sampah kotoran manusia yang paling akhir. Emmmm....kataku tidak.
 Kata orang, kloset adalah tempat yang paling bau. Bau gas amoniak menyebar dengan cepat dari lubang kloset. Apalagi, kalau nggak pernah diguyur pake air. Tapi, kataku tidak.
 Kata orang, kloset itu kotor dan nggak sehat. Lagi-lagi, aku bersikeras mengatakan tidak, tidaaaaaakkkkk!!!!!!
Orang yang mengatakan itu adalah orang-orang munafik, pikirku.
Bagiku, kloset adalah segalanya. Kloset adalah sarana yang penting bagi hidupku. Tahu ngga’? Aku paling senang berlama-lama jongkok di tempat yang kata orang menjijikkan itu. Di situlah, segala inspirasi hidupku muncul, berpendar-pendar ke luar dari boko….eh otakku ding. Semuanya mengalir lancar kecuali kalau lagi bebal. Maka, aku paling ngga’ suka kalau meditasi dan kontemplasiku di atas lubang kloset diganggu oleh orang-orang munafik, orang-orang yang memberi stigma negatif pada kloset tetapi tetap saja setiap hari bercengkerama dengannya. Aku paling suka menghirup bau kloset yang kata orang ngga’ sehat itu. Bau kloset justru wangi, dan jadi lebih wangi ketika lamunanku melayang ke tubuh indah, kedalaman jiwa cantik, dan  bau keringat istriku yang paling kusuka. Kloset bagiku justru tempat yang paling bersih. Tempat di mana aku secara jujur berpikir dan mengungkapkan diriku. Tidak ada kebohongan dalam diriku ketika aku bersenggama dengan si kloset. Jiwaku bersih. Hatiku bersih. Kepalaku bersih. Gagasanku jernih.
Dan, bangsat, hari ini, mereka bersikeras untuk menggusur keberadaan kloset kesayanganku. Katanya, di situ, akan dibangun sebuah megamall yang ok punya, yang berteknologi tinggi, yang berlantai banyak, yang lengkap-kap, komplit-plit. Lalu, klosetku?
###
Sore yang indah, selagi kami sekeluarga bercengkrama di teras rumah,  orang-orang itu datang dan mengunjungi kami. Wajahnya penuh kepalsuan, bertopeng rangkap tiga belas. Entahlah, bahkan anakku yang belum bisa jalan, bisa menangkap maksud jahat orang-orang ini. Tangisnya keras, tapi tidak sekeras bunyi buldoser yang mulai memasuki kampung kami.
            “Selamat sore, bapak. Selamat sore ibu, dan selamat sore anak,” katanya.
            Cuih, jawabku sambil memalingkan muka.
            “Selamat sore,” kata istriku sopan sebelum ludahku menempel di tanah.
            “Ada keperluan apa bapak-bapak datang ke rumah kami?” tanyaku.
            “Ah, tidak ada kepentingan yang sangat mendesak sebenarnya. Kami hanya ingin mengirim bingkisan bagi anda sekeluarga,”
            “Sudah pak, terima saja,” bisik istriku.
            Bingkisan itu kami terima juga. Isinya makanan. Kumakan dan buru-buru kukeluarkan di klosetku. Ah, aku semakin cinta pada klosetku.
###
Merasa mendapat angin segar karena bingkisannya kemarin kuterima, orang-orang itu mulai menggerogoti tanah dengan buldoser. Proses pengeboran bahkan sudah dimulai. Suaranya memekakkan telinga, memecah hati yang sepi, menggores jiwa yang tadinya bahagia. Tawa dan kepuasan mulai hilang. Rumpi dan kumpul-kumpul mulai hilang. Bagaimana mau ngerumpi kalau suara bisik-bisik saja tidak bisa terdengar? Pada saat seperti itu, tempat yang paling kusukai adalah kloset. Tempatnya yang selalu tersembunyi membuat suara-suara buldoser tidak terdengar memekakkan telinga.
            “Pak,....pak,....!!!!” teriak istriku suatu kali.
            Sudah barang tentu aku tidak mendengar suaranya.
            Tapi, akhirnya, pintu wc digedor keras,  “Pak, pak,” teriak istriku lagi.
            Uh, sebenarnya, aku enggan untuk keluar.
            “Pak, tembok ruang tamu rumah kita retak,” kata istriku sambil terisak.
            Ya, kan. Tepat, kataku. Mereka telah mulai merusak, bahkan hanya dengan kuat getaran bor yang menghujam ke tanah.
            “Sudahlah, bukankah masih ada ruang keluarga?”, bisikku menenangkan istriku.
            Aku ingin marah, tapi aku tak ingin membuat istriku semakin menangis. Kupikir, kata-kata itu yang paling tepat untuk saat ini. Yah, untuk saat ini......
###
Di suatu sore yang tak lagi indah, orang-orang itu datang lagi. Dan, seperti biasa, anakku menangis keras. Namun, justru tangis anakkulah yang menggugah meditasiku di kloset sore itu.
            “Kami tidak akan meninggalkan tempat ini,” kataku tegas sembari membetulkan celanaku, bahkan sebelum mereka bermanis-manis di depan mukaku. Tentu saja, ini hasil pemikiranku selama aku jongkok di kloset barusan.
            “Kami juga tidak memaksa bapak, ibu, dan anak untuk pindah dari tempat ini. Namun, silahkan bapak, ibu, dan anak pertimbangkan sendiri. A ha !!!  Kami melihat, tembok ruang tamu rumah anda mulai retak. Padahal, tentu saja, anda tak ingin retak itu merata di seluruh ruangan di rumah anda, begitu?” katanya tenang menjijikkan.
            “Anda mengancam?”
            “Ha..ha...tentu saja tidak. Tolong bedakan antara peringatan dan ancaman. Sekali lagi, kami ingin mencari solusi yang terbaik. Pembangunan mall ini jelas tidak dapat dihentikan. Mall menjadi tolok ukur kemajuan suatu kota. Semakin banyak mall, semakin hebatlah nama kota itu di mata bangsa. Kami telah menawari ganti rugi kepada tetangga-tetangga yang lain, bagaimana? Toh, ini untuk kebaikan bangsa dan negara.”
            Suasana sepi sesaat.....Bibirku hampir bergetar karena marah.
            “Teganya kalian mengurbankan kami hanya untuk sebuah nama besar !!!”
            Kata-kata itu menutup pembicaraan kami sore itu. Kuangkat tubuh anakku, kugandeng lengan istriku, dan kutinggalkan orang-orang itu dalam sepinya: entah takjub atau geram.
###
            Pembangunan mall itu benar-benar tidak berhenti. Aku mendengar, banyak tetanggaku yang mulai bereaksi. Ada yang mencari aman dengan pindah saja, dan meminta ganti rugi yang teramat tidak seimbang. Ada yang mulai mendemo pembangunan mall itu: mengajukan protes, menulis di surat kabar, dsb. Dan, kami hanya diam. Istriku mulai panik karena tembok dapur rumah retak. Aku sendiri juga mulai panik, tembok ruang kerjaku juga mulai retak. Anakku yang satu-satunya juga mulai belajar panik karena teralis-teralis tempat tidur kecilnya selalu bergetar dan bergoyang. Semua mulai retak. Hanya satu dinding yang belum retak. Dinding yang melindungi kloset tercintaku.
            “Aih,...apa yang sedang bapak lakukan?” tanya istriku bingung ketika melihat aku mondar-mandir dari ruang kerja ke WC,  dari WC ke ruang kerja, sambil mengangkati buku-buku.
            “Ingat, bu. Kita tidak akan pindah dari rumah ini walau apapun yang terjadi,”
            “kenapa sih, bapak bersikeras untuk tidak pindah?”
            “itu karena kita memperjuangkan kebenaran, ibu.”
            Dan, percakapan itu berhenti.
###
            Hampir, semua buku telah berpindah ke WC. Dan, aku sungguh mencintai kegiatan ini. Sambil jongkok, ketika gagasanku terasa jernih, aku dapat menyerap banyak hal, membaca, berpikir, mencari ide-ide segar, dan sebagainya. Saking asyiknya, aku tidak mendengar bahwa teras rumah kami telah menjadi rata dengan tanah. Dan, hampir saja, aku tidak mendengar ambruknya ruang tamuku kalau istriku tidak menyelinap ke dalam WC milikku. Terang saja, aku terkaget-kaget membetulkan celanaku.
            “Rumah kita bakalan ambruk, bapak masih asyik jongkok di kloset!!!” teriaknya panik campur bingung.
            “Jangan keluar dari tempat ini”,  kataku. Aku sendiri melangkahkan kaki keluar. Tekad dan niatku bulat untuk mengatakan kebenaran kepada mereka.
###
Kupikir aku hanya beberapa hari menghabiskan waktuku di kloset tercintaku. Tapi, mengapa suasana lingkunganku sudah sedemikian berubah? Yang pertama-tama terasa adalah siang itu menjadi sangat panas, sangat-sangat panas. Pohon-pohon tak lagi menghiasi dan meneduhkan kotaku. Mereka semua lenyap, tanpa bekas. Aku melihat tanah yang lapang dengan buldoser-buldoser besar mulai meratakan tanah. Di beberapa titik, pondasi sebuah bangunan besar mulai terlihat. Bising, kotor, dan berdebu. Di sudut lain, aku mulai tersadar, ada banyak rumah telah hilang: rumah gedeg Pak Karjo, tukang becak tetanggaku, rumah Yu Inem, penjual jajanan di pasar, rumah Lik Giman, seorang buruh pabrik, rumah Paijo, Paino, Satiyem, dan masih banyak lagi. Hatiku teriris. Dan, menjadi teriris lagi ketika aku tak lagi menemukan Sekolah Dasar kebanggaanku. Di mana sekolahku dulu? Tak lagi aku mendengar teriakan riang gembira anak-anak kecil yang berangkat ke sekolah, yang belajar sambil bermain di sekolah: kejar-kejaran, sepak bola, kasti, yang bareng-bareng pulang dari sekolah. Pudar juga harapanku untuk menyekolahkan anakku di situ. Hatiku teriris semakin dalam. Mengapa orang-orang kecil itu yang tergusur? Mengapa anak-anak kecil itu harus kehilangan sekolah mereka yang tercinta, dan juga kucinta? Mengapa alam ini menjadi semakin panas, kotor, bising, dan berdebu?
Lalu, mengapa aku masih berdiri di sini ketika semua hal yang kusayangi itu telah hilang dan terenggut dari hidupku? Apa lagi yang dapat kuperjuangkan? Ah, aku ingat istri, anak, dan klosetku. Bukankah aku masih mempunyai mereka yang kusayangi? Tak akan kuizinkan mereka merenggut istri, anak, dan klosetku yang kusayangi.
            “Hei,  ....ternyata bapak kita ini masih di sini?” teriak beberapa orang dari atas buldoser.
            “bagaimana, anda sudah mempertimbangkan tawaran kami untuk pindah dengan ganti rugi?” lanjut mereka lagi dengan nada kemenangan.
            “atau, anda masih bersikeras untuk tinggal di sini tanpa .....ah, teras dan ruang tamu anda saat ini?”
            “Apalagi yang ingin kau rampas dari kami?” tanyaku.
            “alam? Rumah? Orang-orang di sekeliling kami? Sekolah kami? Semua itu sudah kau ambil.”, tanyaku lagi dengan asa yang hampir putus.
            Mereka mendekati aku dengan tampang disopan-sopankan.
            “Hanya bapak sekeluarga yang masih memaksa untuk tinggal di sini. Padahal, mall ini tidak akan bisa berdiri kalau rumah bapak masih ada di tanah ini. Pemecahannya cuma satu bapak pergi dari sini dengan ganti rugi yang akan kami berikan kepada bapak.”
            “nah, kalau bapak masih ngotot di sini, terserah. Yang jelas, cepat atau lambat, rumah bapak akan segera diratakan dengan tanah.”  Mereka mengatakan hal itu dengan penekanan yang berlebihan.
            Langkahku gontai kembali ke rumah yang tak lagi memiliki teras dan ruang tamu. Tinggal tersisa ruang keluarga, dapur, beberapa kamar yang rusak parah dan WC yang masih utuh. Istriku memutuskan untuk pergi ke rumah orang tuanya. Dia mengajakku untuk pergi.
            “Apalagi yang ingin kau perjuangkan? Keadilan? Kebenaran?” tanyanya dengan tangis yang merebak ketika aku tetap bersikeras untuk tidak meninggalkan rumahku.
###
            Pagi itu, tinggal kloset kesayanganku yang masih tersisa. Bagian rumahku yang lain telah habis. Istri dan anakku telah menyingkir ke tempat yang lebih aman.
Apakah masih ada hati dari mereka untuk tidak mengambil satu-satunya tempat kecil yang bagiku masih sangat bermakna? Masihkah mereka punya hati? Lamunanku tergugah ketika pintu WC didobrak dengan keras. Sudah waktunya. Eksekusi atas WC ini  pun pasti akan dilakukan.
            “Hei, gantian dong !!!!”
            Mengagetkan, begitu banyak orang entah dengan jas, berbadan bersih, atau yang cuma jadi buruh bangunannya, dengan badan kotor antri di depan klosetku yang tercinta.
            “Antri dong !!!!”
            “Jangan dorong-dorong !!!”
            Aku terpana, terpekur sendiri menatap orang-orang itu ternyata juga membutuhkan satu-satunya yang kusayangi yang masih boleh kumiliki. Satu demi satu, mereka keluar masuk bergantian. Kuamati wajah mereka satu demi satu. Segala keaslian tampak di wajah mereka. Wajah yang begitu jujur bahwa mereka memang sungguh membutuhkan. Tidak ada kepalsuan, semua tampak apa adanya. Ah, menyenangkan dan indah. Tapi, semua itu hanya berlangsung sejenak. Tepat, setelah mereka keluar dari bilik itu. Mereka menatap dunia yang telah menggerus rasa kemanusiaan itu. Mereka terkondisikan untuk kembali menjadi monster. Mereka pakai kembali topeng-topeng mereka, tampil munafik, penuh kepalsuan. Tampang dan sifat serakah kembali muncul dan mengalahkan kodrat kemanusiaan mereka sendiri.
            Dan, saat ini, mata monster mereka, mata-mata dari topeng-topeng mereka menebar ancaman, mengarah, menusuk ke mataku, mata yang penuh kejujuran karena selalu menikmati keapa-adaan sebuah kloset.
            “Sudah waktunya, bapak harus meninggalkan tempat ini”,  kata mereka dengan wajah sok kejam.
            Sebuah pemikiran tiba-tiba terlintas di otakku.
            “Baiklah, aku akan meninggalkan tempat ini. Aku tidak akan meminta ganti rugi apapun. Kalau boleh, aku hanya ingin melihat WC dengan klosetnya masih di sini dan tidak kalian gusur sama sekali. Toh, kalian juga masih membutuhkannya”,  kataku.
            “Huh, untuk apa kloset kotor dan menjijikkan ini tetap dipertahankan di sini, hah, ha..ha....”
            “Dasar orang-orang munafik”, teriakku.
            Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri segala hal itu terjadi. Klosetku yang kucintai, yang ternyata juga mereka cintai entah hari masih pagi, siang, atau malam, diremukkan oleh buldoser yang besar dan terlihat selalu kejam. Mereka, orang-orang yang tak punya hati, sungguh tidak memiliki. Yang ada hanya kepalsuan, dan topeng monster mereka.
            Pada saat itu, aku berharap, aku masih dapat menemukan kloset-kloset yang lain lagi, yang dapat membantu aku untuk menjadi jujur dan apa adanya, hidup tanpa kepalsuan.
           
*******

yogya, 20 okt,dinihari