inilah HIDUP

mengubah KRONOS menjadi KAIROS.
mengubah peristiwa begitu saja menjadi peristiwa bermakna, peristiwa berahmat.
mengubah CROWD menjadi COMMUNITY.
Mengubah yang tidak berhati nurani, menjadi kumpulan orang yang punya hati.
Inilah HIDUP yang bermakna.

tentang aku


Sebuah Pendakian


Untuk berjuang, mencari, dan menemukan. Bukan untuk menyerah.
(Tennyson)

            Aku, Frans Kristi Adi Prasetyo, lahir di Purworejo, 22 September dua puluh  sembilan yang lalu. Aku terlahir sebagai anak ke enam dari enam bersaudara. Sebagai anak terakhir, aku memang merasakan tidak pernah kekurangan kasih sayang. Namun, mulai saat kecil juga, aku telah mulai berjuang. Bapak harus tugas kerja di Banjarmasin sedangkan ibu tetap di Purworejo untuk menjaga anak-anak. Sejak kelas III SD, aku selalu menemani ibu untuk ke gereja pagi, naik sepeda. Pengalaman yang indah.
            Namun, ternyata aku juga seorang pribadi yang tampaknya mudah bosan ketika menemukan keteraturan, kemapanan. Misalnya saja, kelas V SD, aku ikut latihan tae kwon do. Belum ada tiga bulan, aku sudah keluar, karena jurus yang dipelajari hanya itu-itu saja. Tapi, aku tidak gampang menyerah dalam hidup sehari-hari. Aku bukanlah pribadi yang hanya senang hal-hal yang nyaman-nyaman saja. Jarak sekolah sampai rumah tiga kilo. Dan, aku harus naik sepeda. Bukannya apa-apa, sehari itu, aku bisa dua kali bolak-balik karena ada kegiatan ekstra juga. O ya aku orang yang aktif, yang selalu bergerak, mengembangkan bakat. Di mertoyudan, tantangan semakin hebat. Aku mulai sedikit kesulitan. Kemauan belajar dikalahkan oleh kegiatan lain sedang dari diri sendiri tidak ada usaha untuk memperbaiki turunnya prestasi belajarku. Dengan kata lain, aku menjadi semakin malas. Akhir kelas III, aku dihantam dengan hasil ujian Pra-EBTA, aku no urut kedua dari bawah. Shock, kecewa, sedih, dan malu luar biasa langsung hadir. Tapi, aku bersyukur bahwa peristiwa itu justru melecut untuk mampu berbuat lebih baik. Aku belajar keras, dan hasilnya sungguh peningkatan yang luar biasa. Aku masuk sepuluh besar dengan nilai yang lebih dari cukup. Pengalaman itu kuingat sampai sekarang: habitus belajar itu penting untuk selalu aku jaga. Di Tahun Rohani, ada satu pengalaman yang sangat berharga, peregrinasi. Pengalaman hebat yang mungkin sulit untuk aku ulangi lagi. Aku berjalan lebih dari tiga ratus kilo tanpa bekal, tanpa uang, dan hanya mengandalkan kebaikan hati dari orang-orang yang aku mintai di jalan sepanjang Pekalongan-Cisantana, Kuningan. Aku harus tidur di emper toko, masjid, pangkalan truk. Merasakan sakitnya diusir, merasakan panas dan dingin, tapi juga merasakan kebaikan hati orang-orang yang menjadi malaikat penolong bagiku.
            Di SMU, aku adalah seorang pendaki gunung. Filosofi orang naik gunung selalu menarik bagiku. Maka, kalau akhirnya aku harus menilai, siapakah aku: quitter, camper, climber, dengan melihat pengalaman hidupku, aku adalah seorang climber dan selalu berusaha untuk menjadi climber. Mungkin ada kalanya, aku menjadi camper: orang-orang yang cepat merasa bosan ketika kadang menemui tantangan, Cuma karena satu alasan: malas. Atau, gampang saja mencari rasa aman ketika berhadapan dengan tantangan. Tapi, persis aku menyadari bahwa aku sudah terbiasa hidup tidak selalu enak, mapan, aku dibiasakan untuk menjadi pribadi yang mau berjuang, dan tidak mudah menyerah. Perjuangan kami di kelompok teater jaran Iman, juga dapat selalu kujadikan pengalaman bagaimana kami harus pintar-pintar mengatur waktu. Latihan dari jam sepuluh malam sampai jam dua belas. Belum lagi, kami harus menyangkal diri, dengan mengikuti Ekaristi. Hanya saja, kemudian, aku berpikir apa sih nilai yang aku perjuangkan untuk mencapai puncak pendakian. Apa yang memotivasi diriku senantiasa untuk terus menjadi climber? Pertanyaan itu selalu menjadi pertanyaan bagiku ketika aku melangkah atau berlari. (dan, itu membantuku untuk selalu melakukan reposisi diri ). 
Aku belum mau berhenti karena langkahku masih berjalan dan terus berlari.