inilah HIDUP

mengubah KRONOS menjadi KAIROS.
mengubah peristiwa begitu saja menjadi peristiwa bermakna, peristiwa berahmat.
mengubah CROWD menjadi COMMUNITY.
Mengubah yang tidak berhati nurani, menjadi kumpulan orang yang punya hati.
Inilah HIDUP yang bermakna.

Senin, 22 Agustus 2011

Terbukalah atau Ojo Micek, Ojo Mbudeg.....!!

Berbagi sedikit tentang pengalaman merenungkan Ayat-ayat suci dari Matius 23:13-32.

:: Celakalah kamu, hai pemimpin-pemimpin buta, yang berkata: Bersumpah demi Bait Suci, sumpah itu tidak sah; tetapi bersumpah demi emas Bait Suci, sumpah itu mengikat. Hai kamu orang-orang bodoh dan orang-orang buta, apakah yang lebih penting, emas atau Bait Suci yang menguduskan emas itu? ::




Dalam permenunganku, aku merasa kata-kata Yesus pagi ini tidak menentramkan..... Keras dan menyakitkan.
Sabar memang tampaknya ada batasnya. Namun, di sisi lain, kemarahan juga ada batasnya.

Yesus, mungkin memang sudah tidak sabar lagi dengan tindakan orang-orang Farisi, ahli taurat, yang sangat munafik, jahat, bahkan dikatakan menelan rumah janda-janda (untuk mengatakan bahwa mereka juga sangat serakah). Tapi dalam ketidaksabarannya, kemarahannya adalah kemarahan yang yang punya batas, dan tidak sangat emosional. Ia memikirkan betul rumusan kata-katanya. Kata-kata yang tidak menentramkan itu punya sifat kritis bagi tindakan orang Farisi dan Ahli Taurat.

_kata yang tidak menentramkan, kadang membuat kita bersikap kritis, menggoyang kemapanan karena dosa dan kesalahan yang dilakukan_

Pada pihakku, aku diundang untuk mengkritisi dengan sifat yang lebih positif. Ini ajakan Yesus untuk BUKA MATA, BUKA HATI terhadap kebaikan banyak orang, terhadap mereka yang disingkirkan, mereka yang kurang diperhatikan. dalam bahasa negatif: OJO MICEK, OJO MBUDEG.

Yuk, semarakkan dunia dengan membuka mata dan hati kita bagi kebaikan, dan mereka yang membutuhkan kebaikan kita. Jangan mencari waktu untuk itu, tapi sediakan waktumu.

Sabtu, 20 Agustus 2011

Murah Hati VS Tinggi Hati

berbagi sedikit tentang bacaan-bacaan hari ini.
dari kitab Rut 2:1-3,8-11;4:13-17 dan Injil Matius 23:1-12

Membaca kitab Rut pagi ini, aku telah menemukan kisah tentang orang-orang yang murah hati.
bagaimana tidak, Rut meninggalkan segala-galanya, untuk menemani Naomi, ibu mertuanya... keiklasan dan ketulusan luar biasa. tanpa pamrih. Sedang orang-orang zaman ini, alih-alih rukun dengan ibu mertuanya, menemani ibunya sendiri di masa tuanya kadang jg tidak mau...(hehe).
Masih ada satu tokoh lagi yaitu Boaz. Dengan murah hati juga ia menerima Rut untuk bekerja di ladangnya. dan perjumpaan orang-orang yang murah hati ini membuahkan kebaikan, sebuah rencana Allah yang besar. Mereka menikah, melahirkan Obed, ayah Isai, yang adalah ayah Daud.

di sisi lain, dalam bacaan Injil, aku merenungkan tentang hidup orang Farisi dan Ahli Taurat. Dengan luar biasa, Yesus mengatakan bahwa mereka mengatakan tapi tidak melakukan, mereka tampaknya ingin meringankan beban seseorang, namun sebenarnya menanggungkan beban lebih banyak. Tinggi hati, adalah saat keinginan untuk dipuja, hasrat untuk dihargai, dan nafsu untuk menjadi populer mengalahkan naluri manusia sebagai makhluk sosial yang seharusnya saling menghargai.

Memilih: menjadi murah hati atau menjadi tinggi hati?

Mungkin, akupun kadang tinggi hati. buktinya sifatku beda-beda sedikit dengan Tuhan.
Tuhan sedikit tidur
Aku sedikit-sedikit tidur

Tuhan sedikit makan
aku sedikit-sedikit makan

Tuhan sedikit marah
Aku sedikit-sedikit marah

Tuhan sedikit-sedikit memberi dan menolong
Aku sedikit memberi dan menolong

Tuhan sedikit-sedikit berkorban
Aku sedikit berkorban

Tuhan sedikit-sedikit berdoa
aku sedikit berdoa

semoga hari ini, ketika aku menyadari kelemahanku ini, aku tergugah dan kemudian berjuang untuk menjadi MURAH HATI seperti Rut dan Boaz... seperti Tuhanku sendiri.

Mari.

Jumat, 19 Agustus 2011

detachment, kenosis

Tampaknya aku ingin berbagi cerita ttg detachment, mematikan rasa. 
Kuambil dr bukunya Mitch Albom, Tuesdays with Morrie.

1.Mematikan perasaan bukan berarti tidak membiarkan pengalaman singgah & meresap di hati. Sebaliknya, justru membiarkan pengalaman dialami scr penuh.
2. Misalnya: saat mencintai seseorang, saat merasa kasihan, saat sakit, saat kesepian, dan berbagai perasaan laen; bukan untuk ditolak atau ditahan.
3. Ketika rasa atau emosi itu ditahan, waktu dan hati kita justru sibuk atau habis dalam rasa takut: takut sakit, takut sedih, takut sepi, dll.
4. Dengan membiarkan diri mengalami emosi itu, kita justru akan mengalaminya secara penuh & utuh. Tahu arti sakit, arti cinta, arti sedih, arti sepi
5. Betapa sering kita merasa kesepian, kadang sampai ingin menangis, tetapi kita berusaha keras untuk tidak keluarkan air mata.
6. Ato betapa dahsyat rasa cinta, tetapi kita tidak mengatakannya karena terbelenggu oleh rasa takut bhw pengungkapan dgn kata2 akan berpngaruh buruk pada hubungan.
 7. Detachment, mematikan rasa, pengosongan diri: kita buka kerannya, membasuh diri dgn emosi, terluka/bahagia, lalu atasi semua rasanya.
8. Ketika rasa takut dibiarkan, lama kelamaan kita menerimanya seperti memakai sebuah kemeja yang sudah biasa kita pakai.
9. Lalu kita katakan: sudahlah ini hanya rasa takut. Aku tidak akan membiarkannya mengendalikan diriku.
10. Sama halnya dgn kesepian : kita membiarkannya datang, kita membiarkan air mata mengalir, merasakannya secara utuh, lalu berkata: Baik, begitulah rasanya ketika aku kesepian. Ak tidak takut merasa sepi. Tp sekarang aku kalahkan rasa sepi itu & sadar bahwa di dunia ini masih ada pngalaman & rasa yang laen.
12. Detachment adl pengosongan diri, sikap lepas bebas.
Dan, masih harus kutemukan dan kuperjuangkan dlm hidupku. Sekian.

Rabu, 10 Agustus 2011

adakah kata terlambat untuk memulai?

ya, adakah kata terlambat untuk memulai....

tgl 22 Juli 2011, setelah dua tahun perjalanan sebuah komitmen, seorang Suster mengatakan padaku,"Apakah selama ini khotbah dan renungan itu kamu tulis?".
aku menjawab tidak.
"Mengapa tidak?" tanyanya lagi.
ya, mengapa tidak...pikirku...
tapi aku bertanya pada diriku sendiri
adakah kata terlambat untuk memulai?

Jawabannya mungkin tidak,
mungkin juga iya...

Menurutmu?

ataukah ini pertaruhan sebuah kesetiaan untuk memulai apa yang harus dimulai?
ataukah ini ketakutan untuk menjaga hal yang baik yang ingin kumulai?

hhmmm...mari memulai sesuatu yang baik.
Non Abbiate Paura!!










Minggu, 12 Juni 2011

merayakan CINTA

saat menikmati senja,
hidup serasa berkata:

:: jangan pernah terluka karena sekedar suka... tetapi berbahagialah ketika sanggup mencinta sampai terluka. Suka adalah soal keegoisan. sayang adalah memberi dan menerima. tapi cinta adalah kerelaan untuk berkorban ::

Bersyukur atas anugerah ROH hari ini... Nikmati senja ini, kataNYA

Senin, 23 Mei 2011

Have a Little Faith , and a Little Hope, but with a Big Vision: Kenanglah, Bersyukurlah, Langkahkan kaki dengan Pasti

Kenanglah: Habit’s Formation
Kuawali tulisan ini dengan sebuah kenangan: Setiap sabtu sore itu, tahun 2001, kapel di rumah kami, dipenuhi seorang romo dan enam orang frater peziarah rohani di tahun rohani, duduk dalam setengah lingkaran, berbagi cerita dan refleksi tentang perjalanan refleksi dan retret sehari-hari Latihan Rohani Anotasi 19. Beberapa bulan berjalan, terkenang sebuah perjalanan bernama peregrinasi: memasuki hari keempat perjalanan, aku dan Punidi, dalam rute Pekalongan-Cisantana, sudah menginjakkan kaki di Jawa Barat. Waktu itu sore hari, dan tubuh kami sudah menginginkan istirahat. Sebuah emperan toko di desa kecil adalah tempat yang kami pilih untuk meletakkan raga yang lelah ini. Tidak berselang lama, kami terlelap dalam tidur kami masing-masing. Bahkan ketika belum sempat kami bermimpi, tubuh kami digoncang oleh beberapa orang pemuda. Katanya, kami harus bangun dan segera pindah ke balai desa. Alasannya, sedang musim tawuran pemuda antar kampung, demi keamanan. Dengan menyeret mantol yang menjadi selimut kami, -meski terasa tidak lebih berat daripada membuka mata kami yang sudah lengket ini-, kami berpindah ke balai desa. Persis di sana, kami disambut janji akan dibelikan dua mangkok mie. Dan, semuanya berakhir dalam penantian tak pasti. Tuhan, apa maksudmu semua ini? Kami Kaubuat tak nyaman dengan tidur kami, dengan janji yang tidak ditepati, apa lagi yang bisa kukatakan padaMU Tuhan dalam perjalanan hidup kami yang lelah ini? Setelah satu hari satu malam berjalan, -tanpa mie, namun dengan bayangan tentang lezatnya mie yang tidak bisa diusir dari kepala kami (kepalaku sekurang-kurangnya), akhirnya sampai juga di Cisantana. Tujuan pertama: susteran Cisantana. Mengharap makan dan minum seadanya. Yang datang ke muka dan perutku adalah dua mangkok mie. Sepulang dari gua Maria Cisantana dengan cucuran air mata karena terharu, suster menyarankan kami mampir di rumah seorang pemuda Katolik, dan suguhannya adalah Mi. Sore pertama dalam perjalanan pulang kami, kepala dusun setempat dengan penuh kelembutan memberikan mushola bagi tempat kami tidur, dan dua mangkok mie panas. Tuhan, inilah jawaban. Karena kami masih terus melangkah dengan keyakinan dan harapan, meskipun kecil, Engkau menunjukkan rencanaMU yang lebih besar.
                Ketika itu, retret anotasi 19 dengan metode meditasi satu jam setiap hari menjadi semacam ritus harian, dalam bahasa formasi: habits formation. Banyak orang mengatakan yang ritual itu kemudian membuat hidup menjadi monoton, bahkan mungkin menjemukan.  Kebosanan melakukan sesuatu yang baik. Tapi, sekali lagi, inilah bagian dari sebuah perjalanan. Dan, dalam perjalanan diperlukan sedikit keyakinan, a little faith, bahwa Tuhan merencanakan sesuatu yang lebih besar. Rutinitas ini hanyalah salah satu dari rutinitas kami yang lain yang kami hidupi pada tahun orientasi rohani St. Agustinus. Inilah saat pertama, Keuskupan Purwokerto membuka Tahun Orientasi Rohani sendiri, dan kami berenam yang menjalani tahun pertama ini, di sebuah rumah yang masih ‘ngontrak’ di susteran SND Pekalongan. Nama St Agustinus diambil dari romo diosesan yang pertama Keuskupan Purwokerto, Agustinus Wahyobawana. Sampai di sinilah, kata kenanglah menemukan maknanya. Mengenang adalah sebuah peristiwa aktif ketika apa yang diingat, diyakini, kemudian dihidupi dari waktu ke waktu. Kami mengenang perjuangannya, kami mengenang Keuskupan tempat dia berjuang, kami mengenang pengalaman spiritualnya, dan kami jaga dalam ‘ritus’ atau kebiasaan-kebiasaan baik itu demi sebuah: KETERHUBUNGAN[i].

Bersyukurlah: Internalisasi
Sepuluh tahun sudah pengalaman kenangan itu terlewati. Aku sudah menjadi seorang pastor diosesan Purwokerto. Tahun Orientasi Rohani St Agustinus sudah memiliki rumah sendiri, -tidak ngontrak lagi; memakai bekas rumah sakit yang dulu dikelola suster-suster PBHK di Tegal. Staf Formatornya juga sudah beberapa kali mengalami perubahan. Waktu terus berjalan, dan belum akan berhenti. Kehidupan yang masih diperjuangkan inilah yang harus disyukuri. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat untuk sebuah perjuangan membangun house dan home di rumah formasi rohani Tahun Orientasi Rohani St. Agustinus ini. Mengikuti perkembangan sampai setahun ini, jujur aku merasa bangga. Kebiasaan-kebiasaan yang sudah bertumbuh baik sekian lama terus disiram untuk menjadi baik. Kebiasaan yang dulu belum bertumbuh lama kelamaan, melihat situasi pergulatan orang, harus ditumbuhkan. Kemandirian juga semakin terasa dengan pengolahan hidup rohani yang ditata dan diselenggarakan secara pribadi (dulu, ‘zaman saya’ masih nunut di Jakarta). Menurut saya, ada banyak rahmat dan anugerah yang memang harus disyukuri.
Rasa syukur selalu lahir dari rasa hati yang positif meski tentu saja pengalaman sepuluh tahun tidak selalu berjalan dalam nuansa positif. Tentu ada pengalaman jatuh bangun (pernah suatu kali, Tahun Orientasi Rohani ini kosong, karena tidak ada frater yang mendaftar untuk masuk menjadi calon imam diosesan Keuskupan Purwokerto). Namun, kemampuan untuk memaknai, dan kemampuan untuk terus melangkah sekali lagi adalah rahmat yang harus disyukuri. Kebaikan banyak orang juga adalah anugerah yang tak pernah berhenti mengalir.
Syukur bukan berarti tidak waspada. Habit’s formation berjumpa dengan tantangan hidup sehari-hari. Habitus diuji ketika tidak ada aturan dan hukuman yang menakutkan ketika orang melanggar atau tidak melakukannya. Rasa syukur, dalam perjuangan melakukan habit’s formation, berarti juga sebuah proses internalisasi[ii], masuk semakin dalam terus menerus, menjadi milik. Internalisasi ini menjadi penting, ketika lembaga pendasaran rohani Tahun Orientasi Rohani ini berhadapan dengan budaya multi-tasking. Saat ini adalah situasi 20 thn pasca Pastores dabo Vobis[iii], situasi orang muda dengan banyak potensi, enerjik, rasa ingin tahu yang kuat, kreatif di satu sisi. Di sisi lain, mereka adalah generasi multi tasking (dalam satu waktu, tangan bisa melakukan banyak hal, -meniru istilah teknologi komunikasi) yang ancamannya adalah tidak mempunyai kedalaman.
Membiasakan diri membuat refleksi adalah salah satu cara untuk mengantar orang muda, para frater ini, untuk masuk dalam internalisasi. Pengalaman empat tahun, atau satu tahun, atau bahkan belum pernah mengalami Seminari Menengah, untuk sebagian besar orang belum cukup untuk sampai pada Refleksi yang lahir dari hati yang bebas. Tahun Orientasi Rohani adalah tempat untuk melahirkan sebuah refleksi dari hati yang bebas, yang dibuat bukan berdasar rasa takut, atau demi kewajiban, namun muncul dari pengolahan rasa atas pengalaman, pendasaran semangat Kasih Yesus yang direnungkan dalam doa-doa, dan membuahkan pencerahan bagi hidup yang masih harus dikayuh. Kurasa, sisi ini telah menjadi kekuatan dari pergulatan Tahun Orientasi Rohani St. Agustinus selama kurun waktu sepuluh tahun ini. Aku bersyukur karenanya. Dan Syukur ini menjadi tanggungjawab kami, para lulusan, dalam kehidupan yang terus berjalan dari waktu ke waktu.
Rasa syukur ini menjadi setitik kecil HARAPAN, a little hope, untuk terus melanjutkan langkah ke depan.

Langkahkan Kaki dengan Pasti: VISI Hidup dalam Roh
Setiap panggilan harus sampai pada pengenalan Roh Kudus, kharisma Roh Kudus[iv]. Di sinilah pergulatannya. Apakah orang dengan mudah menemukan Roh Kudus di tengah zaman yang seperti ini? Visi tantangan zaman ini sungguh berbeda dengan visi hidup dalam Roh. Visi tantangan zaman ini menunjuk pada mentalitas jalan pintas, kenikmatan liar, citra diri tanpa karakter, komunitas satanic, pengetahuan yang tidak humanis, dan membangun hidup yang tidak bercirikan kebenaran. Visi hidup dalam Roh menunjuk adanya kedalaman, wawasan ke depan, adanya hierarki nilai, berciri ekologis (adanya suasana penghargaan atas hidup), adanya suasana yang memberi daya hidup (empowering), prinsip-prinsip kolaborasi (kerjasama), dan adanya sisi rekreasi (suatu kegembiraan dalam menjalani hidup). Jika boleh disimpulkan, visi hidup dalam ROH adalah sebuah visi besar membangun KERAJAAN ALLAH. Visi ini nyatanya juga menjadi visi keuskupan Purwokerto. Dan perjuangan untuk menggapai Visi yang indah ini, tidak harus diperjuangkan dengan cara-cara yang luar biasa, namun bisa diwujudkembangkan dalam kesetiaan hidup sehari-hari.
Tahun Orientasi Rohani St. Agustinus sudah (sebagai bagian dari kenangan), masih (sebagai bagian dari rasa syukur), dan akan terus membangun Visi Hidup dalam Roh ini. Seandainya boleh diringkas, perjuangan itu meliputi Iman, Kesetiaan, Kejujuran, dan Kepedulian[v]. Keempat bagian itu diolah terus menerus dalam kebiasaan: Refleksi dari Hati yang Bebas. Iman menunjuk kemampuan untuk menciptakan waktu hening, waktu untuk berdoa, kesetiaan untuk membaca dan terinspirasi dari bacaan rohani. Kesetiaan, menunjuk kesetiaan dalam tugas sehari-hari (tugas kebidelan bergilir seperti yang selama ini sudah ada), tugas kursus, tugas untuk mengembangkan pengetahuan dengan kemauan untuk membaca, juga setia pada Keuskupan (mengenal sejarah dan bertanggungjawab akan sejarah). Kejujuran terutama dalam pengolahan batin, bimbingan, saat berbagi cerita dengan teman sekomunitas. Kepedulian berarti tidak mementingkan dirinya sendiri, terbuka terhadap keberpihakan pada mereka yang lemah, miskin, tersingkir, dan difabel, serta membangun jejaring secara sederhana namun terbuka dengan masyarakat & mereka yang berkehendak baik. Keempatnya terangkai dalam refleksi yang harus selalu diperjuangkan, dibimbing, agar sungguh kemudian terinternalisasi terus menerus dalam perjalanan waktu ke waktu (tentu saja, tidak hanya satu tahun di Tahun Orientasi Rohani, namun sepanjang hidup).
Last but not least,
Ada tiga orang pekerja bangunan. Pekerja yang pertama tampak malas, tidak antusias. Ketika ditanya, kamu sedang mengerjakan apa. Dia menjawab: sedang menyusun batu bata. Pekerja yang kedua, sedikit lebih antusias, namun tetap kelihatan bahwa dia juga sebenarnya tampak enggan. Ketika ditanya, kamu sedang mengerjakan apa, Ia menjawab: sedang mengerjakan sebuah tembok. Pekerja bangunan yang ketiga adalah pekerja yang paling bersemangat, tampak bahagia, antusias. Kadang ia berhenti dan melihat. Kadang seperti tidak ingin disela dan diganggu. Pertanyaan yang sama, dan jawabannya: Aku sedang membangun sebuah katedral[vi]. Di dalam hati ini, setiap dari kita punya katedral, punya impian, punya visi yang akan diperjuangkan. Sepuluh tahun adalah waktu yang telah berjalan, dan semuanya tampak antusias dan berbahagia karena habit’s formation dan proses internalisasi yang tidak dilupakan untuk mewujudkan visi indah, hidup dalam Roh Allah.
Hati ini, dipenuhi dengan keyakinan kecil bahwa Tuhan punya rencana yang besar, lebih besar dari yang kubayangkan. Dan, kalau boleh jujur: aku jatuh cinta pada HARAPAN, karena harapan membuat hidup ini terus berjalan, visi tetap diperjuangkan, meski berhadapan dengan tantangan.
***
BAHAN BACAAN
_________
1992       Pastores Dabo Vobis, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II.

Albom, Mitch
2009       Have A Little Faith, Sadarlah, Jakarta, Gramedia

Coelho, Paulo
2011       The Pilgrimage, Jakarta, Gramedia

D’Souza, Anthony
2009       Ennoble, Enable, Empower: Kepemimpinan Yesus Sang Almasih, Jakarta, Gramedia

Kusumawanta, D. Gusti Bagus (ed.)
2011       Panggilan Menjadi Formator Seminari, Yogyakarta, Kanisius

Yogyakarta, 19 Mei 2011
Rm. Frans Kristi Adi Prasetyo, Pr.[vii]
Endnote:


[i] Kata ‘keterhubungan’ ini arti dan pemaknaannya hampir sama dengan penerusan, tradisi yang diperjuangkan terus menerus dari generasi ke generasi. Lih. Mitch Albom, Have a Little Faith, Sadarlah, hlm. 46-49.
[ii] RD. D. Gusti Bagus Kusumawanta (ed.), Panggilan menjadi Formator Seminari, Yogyakarta, Kanisius, 2011, hlm. 266.
[iii] Pastores Dabo Vobis adalah Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Pembinaan Imam dalam Situasi Zaman Sekarang yang notabene ditulis tahun 1992.
[iv] RD. D. Gusti Bagus Kusumawanta (ed.), Panggilan menjadi Formator Seminari, hlm. 271.
[v] RD. D. Gusti Bagus Kusumawanta (ed.), Panggilan menjadi Formator Seminari, hlm. 277.
[vi] Cerita ini diadaptasi dari salah satu cerita yang ditulis oleh Dr. Anthony D’Souza ketika ia member contoh soal kekuatan sebuah visi. Lih. Dr. Anthony D’Souza, Ennoble, Enable, Empower: Kepemimpinan Yesus Sang Almasih, Jakarta, Gramedia, 2009, hlm. 91.
[vii] Penulis adalah Imam Diosesan Keuskupan Purwokerto. Sampai ketika tulisan ini dibuat, penulis sedang menjalani tugas studi Licensiat Teologi, di Fakultas Teologi Wedabhakti, Yogyakarta. Pernah mengenyam Tahun Orientasi Rohani St. Agustinus pada tahun 2001-2002.